Pembelajaran Fleksibel Di tengah Disrupsi Sekolah

Takim Andriono, Ph.D

Pendahuluan

Sejak kemunculannya di akhir 2019 dan mulai menjadi pandemi pada awal 2020, COVID-19 telah memaksa sekitar 1,6 milyar peserta didik berbagai jenjang, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Pendidikan Tinggi di seluruh dunia untuk belajar di rumah. Pandemi ini telah menyebabkan disrupsi sekolah dan kampus berskala global, terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Hampir dipastikan semua pemangku kepentingan dunia pendidikan dibuat terkejut, frustrasi, dan bahkan ada yang mengalami depresi. Disrupsi terjadi demikian tiba-tiba dan sangat drastis sehingga tidak memberi kesempatan kepada peserta didik, pendidik, orangtua, pemimpin sekolah untuk membuat persiapan yang memadai.

Sebelum COVID-19 menjadi pandemi global, Revolusi Industri 4.0 dengan karakteristik ikutannya, seperti Big Data, Internet of Things (IoT), Cyber Physical Systems, Artificial Intelligence, Digital Economy, telah ramai diperbincangkan sebagai disrupsi di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Namun dampak disrupsinya tidak sekuat dan sedrastis pandemi COVID-19. Jika Revolusi Industri 4.0 mendesak sekolah dan kampus untuk berubah dalam rangka menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan masa depan, virus ini bahkan telah “menutup paksa” sekolah dan kampus di seluruh dunia sehingga mau tak mau pembelajaran harus dilaksanakan dari rumah. Proses pembelajaran konvensional di sekolah dan kampus, yang selama ini sudah sangat terpola kalau tak bisa dikatakan cenderung “kaku”, dipaksa berubah menjadi pola pembelajaran yang fleksibel, bahkan sangat lentur, berorientasi lebih banyak pada inisiatif dan kebutuhan peserta didik.

Pembelajaran Fleksibel (Flexible Learning): Apa dan Mengapa

Ketika kita membeli pakaian ada kalanya kita menemukan pakaian yang “One-Size-Fits-All” atau “All-Size”.  Yang tubuhnya berukuran sedang tentu saja “pas”, sedang yang gemuk akan merasa kekecilan dan yang kurus agak kedodoran. Tetapi karena pakaian tersebut didesain satu ukuran, maka pembeli dan pemakainyalah yang harus menerima dan menyesuaikan diri. Bukankah itu gambaran pendidikan kita. Guru atau dosen mengatur jumlah dan jenis konten, metode, kecepatan, dan jadwal penyampaian serta tipe dan pelaksanaan asesmennya berdasarkan konsep “one-size-fits-all”. Pola ini sangat mirip dengan pola industri massal pada masa Revolusi Industri 2.0 yang muncul pada akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20. Sebenarnya pola seperti ini tidak sesuai dengan tata pandang Alkitabiah, bahwa setiap orang diciptakan Allah secara unik (Mazmur 139:13).

Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, yang memungkinkan personalisasi. Dengan tersedianya beragam sumber belajar di dunia maya yang bisa diakses kapan saja dan dari mana saja, maka tak heran jika Generasi Z (1996-2010) dan Generasi Alpha (2010-2025) lebih suka dan memang memiliki kesempatan menjadi pembelajar yang dapat memilih mau belajar apa, dari sumber belajar yang mana, belajar di mana, kapan, dan dengan kecepatan belajar pribadi. Demikianlah hakekat pembelajaran flexible (flexible learning). Dengan cara ini generasi muda kita dapat diharapkan akan menjadi pembelajar-pembelajar sepanjang hayat. Namun prasyaratnya adalah membiasakan dan memberdayakan mereka untuk tidak sekedar belajar demi memenuhi kewajiban (compliance), misalnya demi lulus ujian atau memperoleh nilai rapor di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya pendidik perlu memastikan para peserta didik terlibat (engaged) karena mereka tertarik serta menemukan makna dan relevansi materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata sehingga akhirnya mereka terbiasa dan mampu menjadi pembelajar-pembelajar mandiri yang “merdeka belajar”. Konsep “merdeka belajar” ini sebenarnya sesuai dengan prinsip Alkitab sebagaimana tertulis dalam Yoh 8:32  “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakankamu.”

Mengapa pembelajaran flexible ini menjadi alternatif menarik untuk segera diterapkan? Paling tidak ada 3 (tiga) alasan, yakni

  • Tekanan ekonomi akibat COVID-19, sehingga banyak orangtua murid sekolah, khususnya sekolah swasta yang tak mampu membayar uang sekolah anak mereka yang relatif mahal. Pilihan kemudian jatuh pada institusi pendidikan yang menerapkan pembelajaran fleksibel. Selain biayanya (mestinya) relatif lebih murah, tidak perlu uang transpor, uang jajan, dan bagi para mahasiswa bisa belajar sambil bekerja.
  • Domisili peserta didik yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, sehingga dengan pembelajaran fleksibel berbasis teknologi setiap peserta didik di manapun berada dapat mengakses pendidikan berkualitas.
  • Peserta didik dengan keunikan masing-masing, dalam hal kecerdasan, gaya belajar, kebutuhan, ketertarikan, dan keterbatasan dapat memilih dan mendesain peta perjalanan pendidikannya.

Bagaimana Menyelenggarakan Pembelajaran Fleksibel

 “Disrupted Schools or Classes, Undisrupted Learning” – sekolah atau kelas boleh terdisrupsi oleh apapun, namun pembelajaran harus jalan terus. Belajar dari pengalaman pandemic COVID-19, slogan ini harus menjadi cita-cita yang kita wujudkan bersama. Jawabannya adalah pembelajaran fleksibel.

Penyelenggaraan pembelajaran fleksibel oleh sebuah institusi pendidikan sebaiknya dikemas dalam sebuah kerangka model pendidikan yang jelas. Dalam sebuah webinar*, penulis mengusulkan LEARN-GROW-SERVE (Belajar-Bertumbuh-Melayani) sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.

Terbuka peluang bagi institusi-institusi pendidikan jenjang apapun untuk menerapkan proses pembelajaran (LEARN) fleksibel berbasis teknologi, seperti misalnya flipped learning model, yang memberdayakan (empowering) peserta didik. Seiring dengan LEARN, para peserta didik dibimbing memasuki fase GROW atau lengkapnya GROW-ME secara holistik (Lukas 2:52; Efesus 4:15). Mereka dilatih dan dikembangkan kemandiriannya dengan belajar menentukan sendiri tujuan (Goal) belajarnya, memahami realitas (Reality) yang ada, merumuskan opsi-opsi (Options) yang mungkin dan memilih salah satu yang terbaik, serta menyusun langkah-langkah konkrit (Way Forward) diikuti pemantauan (Monitoring) dan evaluasi (Evaluation) mandiri. Tujuan ultimit seluruh proses pembelajaran flesibel bukanlah untuk keberhasilan diri sendiri, melainkan seberapa besar kontribusi peserta didik atau lulusan bagi masyarakat melalui konsep SERVE (Efesus 4:11-12). Selama proses LEARN dan GROW, peserta didik sudah dibiasakan untuk SERVE, walau itu mungkin baru dalam bentuk peer-teaching, memperdulikan dan menolong orang-orang terdekat, merawat lingkungan hidup yang ada di sekitar sekolah atau tempat tinggal.

Dalam rangka menjamin keberhasilan implementasi proses pembelajaran fleksibel berbasis teknologi perlu diperhatikan beberapa aspek berikut:

  1. Infrastruktur komunikasi digital yang dapat diandalkan (terutama jaringan internet
  2. Sumber belajar digital yang memadai
  3. Perangkat lunak dank keras pendukung belajar yang user-friendly
  4. Fasilitator belajar (Coach/Mentor) yang menguasai perpaduan antara konten, pedagogi, andragogy, atau heutagogi* serta teknologi.
  5. Metode pembelajaran yang efektif
  6. Organisasi pengelola pendidikan yang mendukung
  7. Dukungan layanan yang efektif bagi pendidik dan peserta didik
  8. Kolaborasi yang sinergis di antara para pemangku kepentingan pendidikan

Penutup

Pola pembelajaran fleksibel menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari dan diterapkan dalam rangka menjawab tantangan jangka pendek berupa dampak pandemi COVID-19. Disrupted Schools or Classes boleh terjadi tetapi Undisrupted Learning harus tetap diupayakan.  Dalam jangka panjang, pembelajaran fleksibel menjadi sebuah kebutuhan bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan perubahan yang demikian cepat sehingga menjadi pembelajar sepanjang hayat adalah sebuah keniscayaan. Pola pembelajaran fleksibel juga merupakan jawaban terhadap upaya percepatan pemerataan kualitas pendidikan di negara kepulauan seperti Indonesia.

Bahan bacaan

Deakin University (2013), Introducing Flexible Learning,

http://sitios.itesm.mx/va/congreso_academico/documentos/Introducing%20flexible%20learning_Deakin%20Unv.pdf

Smart Learning Institute of Beijing Normal University (2020), Handbook of Facilitating Flexible Learning During Educational Disruption, The Chinese Experience in Maintaining Undisrupted Learning in COVID-19 Outbreak.


*Webinar 20 Mei 2020: Bangkit Membangun Model Pendidikan Masa Depan Pasca COVID-19  https://www.youtube.com/watch?v=pM5QwWZDT48

* self-determined learning in education

Artikel telah diterbitkan di buletin STTB No. 48 Juli 2020